Sebagian besar orang yang mengenal Einstein, Da Vinci, maupun John Stuart Mills sebagai orang genius di dunia. Namun, banyak yang belum atau kurang mengenal William James Sidis, padahal gelar tersebut juga layak baginya yang memiliki IQ pada kisaran 250-300.
Ketidak wajaran sidis diawali saat dia mampu makan sendiri menggunakan sendok pada usia 8 bulan. Pada usianya yang belum genap 2 tahun, dia telah menjadikan New York Times sebagai teman sarapan paginya. Dia mampu menulis buku tentang Anatomi dan Astronomi sebelum usia 8 tahun. Di usia 11 tahun, dia diterima sebagai mahasiswa termuda di Harvard. Yang dahyat adalah sidis mengerti 200 jenis bahasa dunia dan mampu menerjemahkannya dengan cepat dan mudah. Dalam sehari, dia dapat mempelajari sebuah bahasa secara keseluruhan.
Dibalik kesuksesannya tersebut, terdapat sang ayah yang berprofesi sebagai psikolog andal berdarah Yahudi. Ayahnya bernama Boris Sidis, juga alumni dari Harvard. Dia menjadikan anaknya sebagai contoh untuk model pendidikan baru. Model ini digunakan untuk menyerang sistem pendidikan konvensional yang baginya merupakan cikal bakal pembentukan kejahatan, kriminalitas, dan penyakit.
Sayangnya Sidis meninggal justru pada usia ketika seorang ilmuan mencapai masa produktif. Sebuah usia yang tergolong muda, yaitu 46 tahun. Irionisnya Sidis meninggal dalam keadaan menganggur, terasing dan teramat miskin. Banyak orang menilai bahwa kehidupan Sidis tidak bahagia. Dia justru tersiksa karena kepopularitasan dan kehebatannya pada bidang matematika. Beberapa tahun sebelum ia meninggal, Sidis sempat mengatakan kepada pers bahwa ia membenci Matematika.
Kegeniusannya tidak seimbang dengan keberhasilannya dalam dunia sosial. Sidis hanya sedikit memiliki teman. Bahkan, ia sering diasingkan oleh rekan sekampus. Dia juga tidak pernah memiliki seorang pacar ataupun istri. Gelar Sarjananya tak pernah selesai dan ditinggalkannya begitu saja. Selanjutnya ia memutuskan hubungan dengan keluarganya, mengasingkan diri, dan bekerja dengan gaji seadanya. Ia meninggalkan kejayaan masa kecilnya yang sebenarnya adalah bentukan dari sang ayah. Ia menyadarinya bahwa hidupnya adalah hasil pemolaan orang lain., bukan hasil dari keinginannya sendiri. Dia bukanlah penentu jalan hidupnya. Ada keinginan kuat untuk lari dari pengaruh sang ayah., untuk menjadi diri sendiri walawpun dia tahu dia tidak memiliki kuasa apa pun. Dia terlanjur menjadi public figure yang menjadi bahan berita. Kemana pun dia bersembunyi, pers pasti bisa menemukannya. Pengaruh sang ayah tidak bisa dilepaskannya begitu saja. Kepopuleran ini menjadi senjata atau bahkan bom waktu yang setiap saat dapat meledak dan menghancurkan dirinya. Kebebasannya benar-benar terampas.
Boris Sidis
Ia nyaris menghilang, hingga pada akhirnya di tahun 1937, majalah terkemuka New Yorker menerbitkan suatu tulisan tentang dirinya dan kehidupannya yang tersembunyi. Pada usianya yang ke-35 tahun, tampaklah gambaran kondisi Sidis yang menyedihkan. Ia tinggal di sebuah kamar yang kusam dan tak rapi. Bahkan, si genius itu tamapak kesulitan merumuskan kata-kata yang tepat untuk mengemukakan pendapatnya. Bila ia temukan kata-kata itu ia bicara cepat, menganggukan kepala seperti sentakkan untuk menandaskan apa yang dimaksudnya, tangan kirinya bergerak sibuk dan kadang-kadang mengeluarkan bunyi ketawa yang aneh. Ia mencoba menjadi dirinya dengan memilih hidup miskin dan tak dikenal. Sangat mengharukan. Akan tetapi, ternyata ia tidak memiliki lagi hak untuk menentukan dirinya. Sejauh apa pun ia berlari, dia sudah tidak memiliki kesempatan untuk memilih kecuali hidup di bawah bayang-bayang orang-tuanya dan mengikuti jejaknya.
Daftar pustaka:
Abrar Andromeda, 2010. Kisah ilmuan dan pebisnis genius, Jakarta: Ar-Ruz Media.
0 komentar:
Posting Komentar